[Tapak Tilas] Peradaban Baru itu Bermula dari Puncak Gunung Cahaya

Penulis: Siti Nafidah Anshory

Muslimah News, TAPAK TILAS — Salah satu kebiasaan Muhammad sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul adalah berkhalwat atau ber-tahannuts di Gua Hira. Tahannuts adalah salah satu kebiasaan golongan pemikir Arab untuk mengasingkan diri dari keramaian dalam rangka mencari kebenaran atau beribadah.

Muhammad Husain Haikal dalam bukunya (Sejarah Hidup Muhammad (terj.)) menyebut “tahannuts” dengan istilah “tahannuf”. Kata ini seakar dengan kata “hanif”, yakni cenderung pada kebenaran.

Sebagaimana diketahui, sejak kecil, Muhammad adalah sosok yang terjaga dari kemusyrikan. Meskipun kakek moyang dan keluarga besarnya merupakan penjaga Kota Makkah yang saat itu merupakan pusat paganisme, beliau sedikit pun tidak tercemar dengan akidah rusak itu.

Beliau saw. tumbuh dengan bimbingan Allah Taala. Tidak sedikit pun akidah dan akhlaknya tercela. Bahkan, karakternya dikenal di kalangan Arab sebagai karakter istimewa yang tidak ada duanya, dengan gelar Al-Amin, Sang Tepercaya.

Tatkala usia makin dewasa dan beliau sudah berkeluarga, pemikirannya tentang kehidupan makin mendalam. Beliau pun kerap merenung, melihat kehidupan masyarakat Makkah yang jahiliahnya bukan kepalang. Penyembahan kepada berhala yang bermacam-macam serta sistem hidup yang penuh kerusakan sungguh telah meresahkan nuraninya yang lurus. Itulah sebab setiap Ramadan tiba, beliau bersengaja menuju Gua Hira yang menjadi tempat favoritnya.

Gua Hira, Tempat Pencarian Baginda Tercinta

Gua Hira terletak di Gunung Cahaya (Jabal Nur) di pinggiran Kota Makkah. Posisinya sekitar dua farsakh atau sekitar empat kilometer arah timur laut Masjidilharam. Saat ini, tepatnya berada di jalur Jalan Thaif (Sael).

Tinggi gunung ini sekitar 281 meter dengan panjang pendakian sekitar 645 meter. Alurnya cukup terjal dan berbatu-batu besar. Meski sekarang sudah dibuat trek yang lebih memudahkan, tetapi di titik tertentu, sudut pendakian bisa lebih dari 45 derajat.

Posisi Gua Hira sendiri ada di balik jalur pendakian. Walhasil, setelah sampai di puncak, perjalanan harus kembali menurun dengan melewati sisi yang terjal. Jika dihitung, dari titik awal pendakian butuh waktu sekira satu jam lebih dengan fisik yang harus andal.

Di tempat inilah Muhammad Al-Amin kerap menghabiskan beberapa malam dengan berbekal seadanya. Merenung mendalam tentang berbagai persoalan, terutama tentang kondisi masyarakat, hakikat hidup, dan kebenaran.

Istri yang ia cintai, Bunda Khadijah binti Khuwailid ra., seorang wanita mulia dari kalangan bangsawan, kerap datang melihat keadaan beliau sembari mengantarkan makanan dan tambahan perbekalan yang dibutuhkan.

Terbayang sosok keduanya adalah sosok yang kuat keyakinan. Hingga medan yang begitu terjal tidak menyurutkan tekad untuk meraih segala harapannya. Muhammad dengan misi pencarian kebenaran, juga Bunda Khadijah dengan segenap cinta tulus memberi dukungan.

Saat Momen Itu Tiba, Iqra!

Berlalulah Ramadan demi Ramadan dan beliau selalu dalam kondisi demikian. Pemikirannya bertambah kuat dan makin jelas bahwa masyarakatnya adalah masyarakat rusak dan butuh perubahan mendasar.

Tibalah Ramadan pada saat usianya jelang 40-an (610 M). Beliau pun kembali ke Gua Hira untuk beribadah dan berkhalwat. Muhammad Husain Haekal menceritakan, pada masa-masa menentukan itu, beliau kerap melakukannya sambil berpuasa. Pada saat khalwat itulah, beliau mengalami kejadian luar biasa.

Dalam keadaan tidur, Malaikat Jibril ‘alaihis salam mendekatinya seraya memperlihatkan bacaan yang menjadi wahyu pertama: Surah Al-Alaq ayat 1—5 yang diawali kalimat fenomenal: “Iqra!”

Inilah momen pengangkatan beliau sebagai Nabi dan Rasul Allah. Ini pulalah titik awal perubahan revolusioner bermula. Dengan “iqra!”, peradaban baru nan mulia hadir dalam kehidupan manusia yang lama hilang arah.

Sejak saat itu, Muhammad Rasulullah ﷺ melewati hari-hari yang jauh berbeda. Merintis sebuah perubahan bersama istri dan para Sahabat terkasihnya yang 100% percaya bahwa dirinya (Muhammad) adalah pembawa peringatan dan kabar gembira dari Tuhan Semesta Alam, Allah Taala.

Sejak saat itu pula, ayat demi ayat wahyu Allah turun dengan berbagai cara. Menjawab semua persoalan manusia yang sedang tenggelam dalam kejahiliahan, yakni saat kerusakan dan kemusyrikan ditegakkan negara dan undang-undang.

Terbayang beratnya hari-hari beliau bersama para pengikutnya. Berhadapan langsung dengan para penjaga kekufuran yang paham betul bahwa agama baru itu akan mengancam kekuasaan mereka yang telah berurat akar dan selama ini memberi keuntungan duniawi yang sangat besar.

Namun, sejarah membuktikan, kebenaran agama Islam tidak bisa ditolak. Sekeras apa pun penentangan para penjaga sistem jahiliah, ajaran kebenaran yang bermula dari puncak Gunung Cahaya itu terus memancar kuat dan akhirnya menghapus kegelapan di kehidupan manusia dari masa ke masa.

Belasan abad masa penuh cahaya itu hadir. Menebar kebaikan dan rahmat di tengah manusia, berlanjut dengan tegaknya sistem Khilafah warisan Rasulullah ﷺ, hingga Allah Taala mempergilirkan kembali masa itu dan menggantinya dengan kegelapan seperti semula.

Ikhtiar Mengembalikan Cahaya

Hari ini, tanpa sistem Khilafah, kemusyrikan dan kemaksiatan kembali merajalela, meski hadir dengan bentuk dan nama yang berbeda. Hegemoni sistem sekuler kapitalisme demokrasi telah menjauhkan umat Nabi Muhammad ﷺ dari rahmat risalah yang beliau bawa.

Namun, cahaya kebenaran itu tidak pernah redup! Ia akan tetap memancar, menerangi akal dan hati mereka yang gemar ber-tahannuts di tengah keramaian. Menunjuki mereka yang terbiasa berpikir mendalam tentang kondisi umat yang karut-marut dan merenungi hakikat hidup dan kebenaran.

Mereka inilah para agen perubahan pada zaman kekinian. Hidupnya diabdikan hanya untuk kemuliaan Islam sebagai bukti cinta sejati mereka kepada Allah dan Rasul-Nya ﷺ.

Mereka ini para pengemban risalah Islam akhir zaman. Terasing di keramaian, tetapi dijanjikan kemenangan berupa kembalinya Khilafah Rasyidah kedua yang telah dijanjikan-Nya.

Dari Abu Hurairah ra., Nabi ﷺ bersabda, بَدَأَ الإسلامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ “Islam datang dalam keadaan yang asing dan akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntunglah orang yang asing.” (HR Muslim no. 145)

Dari Hudzaifah ra., ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ

“Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti minhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan yang zalim, ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan diktator yang menyengsarakan, ia juga ada dan atas izin Allah akan tetap ada. Selanjutnya, akan ada kembali Khilafah yang mengikuti minhaj kenabian.”

(HR Ahmad dalam Musnad-nya no. 18430, Abu Dawud al-Thayalisi dalam Musnad-nya no. 439; Al-Bazzar dalam Sunan-nya no. 2796)

Semoga kita termasuk kelompok yang istikamah menetapi cahaya kebenaran dan berjuang bersama mereka yang menegakkannya. Hingga masa kejayaan itu tiba kembali atau mati dengan membawa hujah di tangan kita. [MNews/Gz]

Foto sampul: iqra[dot]id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *