[Nafsiyah] Ramadan Sepanjang Tahun

Penulis: Dedeh Wahidah Achmad

Muslimah News, NAFSIYAH — Alhamdulillah, sebulan penuh kita melewati Ramadan dengan memperbanyak amalan, baik yang wajib maupun yang sunah dengan niat untuk meraih nilai ketakwaan. Ramadan adalah bulan penyucian diri dan momentum untuk menempa kualitas ketakwaan kita. Lalu, apakah setelah Ramadan berlalu semangat membina diri luntur? Bagaimana supaya kita istikamah memelihara semangat tersebut? Apa pula yang seharusnya dilakukan dalam keluarga?

Spirit Ramadan

Ramadan memang hanya datang satu kali dalam satu tahun. Lamanya pun hanya satu bulan dan berakhir ketika datang satu Syawal. Namun, semestinya amal-amal baik yang sudah biasa dilakukan saat Ramadan tidak lantas berhenti.

Ibarat fase kepompong pada perkembangan seekor ulat menjadi kupu-kupu, apa yang dialami ulat semasa menjadi kepompong kadang tidak mengenakkan dan tidak menarik. Hasilnya baru terlihat ketika sudah menjadi kupu-kupu. Begitupun aktivitas Ramadan, mungkin saja terasa berat dan banyak godaan. Namun hakikatnya, di balik semua yang terasa berat itu ada keberkahan dan pahala yang tidak ternilai besarnya. 

Mestinya, orang-orang yang berhasil melewati Ramadan akan merasakan hasilnya sampai kapan pun. Mereka akan memperoleh energi baru untuk menjalani hari-hari selama 11 bulan ke depan. Energi tersebut merupakan hasil tempaan amaliah Ramadan yang dilaksanakan selama sebulan penuh. Dengan kata lain, amalan-amalan Ramadan akan terlihat hasilnya pasca-Ramadan sebagai wujud ketakwaan.

Wujud Takwa

Hikmah besar yang akan diraih oleh orang-orang yang melaksanakan saum Ramadan atas dasar keimanan adalah memperoleh derajat takwa (lihat: QS Al-Baqarah [2]: 183).

Banyak definisi takwa yang sudah disebutkan oleh para ulama. Di antaranya adalah bahwa dalam kata takwa mengandung makna: Pertama, al-khawf min al-Jalil; rasa takut yang besar terhadap kemahakuasaan Allah. Orang yang saum dilatih kesadarannya akan sifat-sifat Allah dan diuji konsistensinya dalam ketaatannya terhadap aturan Allah Swt.. Ia akan menjaga hal-hal yang bisa membatalkan saumnya. Diapun tidak berani makan dan minum sekalipun azan magrib tinggal beberapa detik lagi. Mengapa? Karena ia sadar bahwa hal tersebut bisa membatalkan saumnya dan ia juga yakin bahwa Allah Maha Melihat apapun yang dilakukan hamba-Nya.

Kedua, al-‘amal bi at-tanzil; melaksanakan ketentuan hukum yang tertera dalam wahyu Allah yang telah diturunkan baik yang ada dalam Al-Qur’an maupun yang terdapat dalam hadis Rasulullah saw.. 

Ramadan adalah bulan turunnya Al-Qur’an (lihat: QS Al-Baqarah [2]: 185). Firman Allah Swt. dalam ayat ini jelas sekali menyatakan bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk. Karena itu, bulan ini merupakan momen yang tepat untuk membaca, mempelajari, mendalami kandungannya, melaksanakan seruannya, serta mengajarkan dan mendakwahkannya. Dengan begitu fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman hidup manusia betul-betul terealisasi dalam kehidupan nyata dan tidak berhenti pada tataran pengetahuan. 

Pada bulan ini, kita dididik untuk senantiasa berpegang pada syariat Allah Swt.. Saum, salat fardu, salat tarawih, infak dan zakat, serta amal-amal lainnya senantiasa akan disesuaikan dengan aturan-Nya agara amalan tersebut diterima Allah dan mendapat balasan pahala. Pasca-Ramadan keterikatan pada Al-Qur’an dan sunah harus terus dipelihara.

Ketiga, al-isti’dad li ar-rahil; persiapan untuk menghadapi timbangan amal pada Hari Kiamat. Orang yang bertakwa seharusnya memiliki kesadaran bahwa ia akan kembali kepada Allah Swt. untuk mempertanggungjawabkan semua yang telah dilakukannya di dunia. Berikutnya, ia akan senantiasa menjaga perbuatannya agar sesuai dengan syariat-Nya, berusaha tidak melakukan maksiat sekecil apapun, dan tidak akan melalaikan kewajiban seberat apapun.

Takwa Selamanya

Rasulullah saw. menyuruh kita semua untuk senantiasa bertakwa dimana pun kita berada,

اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقْ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.

Bertakwalah kepada Allah dimanapun/kapanpun/dalam keadaan bagaimanapun engkau berada; ikutilah keburukan dengan kebaikan sehingga (kebaikan itu) akan menghapusnya; dan berbuat baiklah kepada manusia dengan akhlak yang baik (HR ath-Thabrani dari Abi Dzarr ra.)

Berdasarkan perintah Rasulullah saw. dalam hadis di atas, maka tidak selayaknya ada pemahaman bahwa takwa hanya ada dalam waktu dan tempat tertentu saja. Takwa tidak hanya ada ketika salat atau di masjid saja. Takwa juga bukan sekadar harus dikejar saat Ramadan saja. Takwa harus ada selamanya dan senantiasa menyertai kita dimanapun kita berada. Bahkan kita diperintahkan untuk terus menjaga ketakwaan hingga kematian tiba (lihat: QS Ali ‘Imran [3]: 102).

Menjaga Amaliah Ramadan

Orang yang memahami keberkahan Ramadan akan berlomba-lomba untuk mengisinya dengan berbagai aktivitas ibadah di manapun. Semangat beramal saat Ramadan memang sangat tinggi. Penentunya adalah adanya dorongan keimanan dan keyakinan atas besarnya pahala; juga situasi amal jama’i yang sangat mendukung. Beberapa aktivitas Ramadan sering dilakukan bersama-sama, baik dengan anggota keluarga maupun bersama teman dan tetangga. Sahur dan buka bersama, salat wajib juga salat tarawih dilaksanakan berjemaah di masjid. Pesantren kilat atau kajian Islam menjelang zuhur dan sesaat sebelum berbuka biasanya juga diselenggarakan bersama.

Ketika Ramadan telah berlalu tidak berarti bahwa semangat beramal juga menurun. Oleh karena itu, penting sekali memelihara semangat Ramadan tetap menyala dan kita istikamah dalam ketaatan sebagaimana saat Ramadan.

Peran keluarga sangatlah penting agar Ramadan terus hadir. Di antara peran tersebut adalah, Pertama, senantiasa menjaga kesadaran bahwa kita harus menjadi orang bertakwa sepanjang hayat. Kesadaran ini terus dipupuk dengan selalu mengaitkan dengan sifat-sifat Allah, seperti Allah Maha Pembalas amal, Allah Maha Pemberi rezeki, Allahlah Yang menghidupkan dan mematikan serta hanya kepada Allahlah kita akan kembali untuk mempertanggungjawabkan amal kita di dunia. Dengan pengaitan ini, diharapkan akan muncul sikap takut, harap, dan taat pada Allah.

Kedua, terus memberi maklumat tentang aturan-aturan Allah yang harus ditaati. Semangat mempelajari tsaqafah Islam bukan hanya dilakukan dalam pesantren kilat Ramadan saja. Tadarus dan tadabur Al-Qur’an juga akan terus didawamkan.

Ketiga, memfasilitasi supaya anggota keluarga senang dan mudah untuk taat. Misal, disediakan buku-buku agama, menjaga salat berjemaah, saling beramar makruf, membiasakan infak, saling menolong, membiasakan saum sunah, membiasakan salat malam, dll. Yang penting, upaya tersebut harus terprogram dan terencana supaya tidak hanya menjadi rutinitas yang kosong dari kesadaran akan hubungannya dengan Allah, apalagi karena keterpaksaan. Semuanya betul-betul dilakukan karena semata mengharap rida Allah Swt..

Keempat, memahami bahwa untuk meraih ketakwaan sempurna tidak bisa dilakukan sendiri, tetapi juga harus didukung dengan ketakwaan kolektif. Individu yang berjuang untuk senantiasa bertakwa akan menghadapi kesulitan ketika masyarakat dan lingkungan sekitar kontraproduktif dengan semua yang ia upayakan. Semangat ketaatan individu boleh jadi akan dilemahkan dengan rongrongan kemaksiatan yang ada di mana-mana. Sebaliknya, dorongan ketakwaan individu akan tetap terpelihara jika dipadu dengan semangat masyarakat untuk senantiasa taat pada aturan Allah serta ketakutan dan kekhawatiran hidup di bawah sistem selain Islam yang akhirnya memunculkan kesadaran masyarakat untuk senantiasa memperjuangkan tegaknya seluruh aturan Allah dalam naungan Khilafah. Sebab, hanya dengan Khilafah kita akan mampu melakukan ketaatan yang kafah. Wallahualam. [MNews/Nsy]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *